Kemegahan Negeri di Balik Awan

Temukan Ke-Aku-an Diri Dibawah Keagungan-Nya

 

Sebagian besar orang mungkin menganggap hiking, climbing, travelling, back packer hanyalah wujud petualangan, sekedar memenuhi kepuasan batin bagi para pecintanya. Namun ada banyak hal yang sesungguhnya dapat kita petik dari petualangan dan tantangan itu. Ialah kontemplasi.

 

Puas mencicipi suasana bahari Pulau Sempu, tawaran climbing pun menjadi alternatif selanjutnya untuk menjajaki alam-Nya. Menyebut kata climbing, sontak langsung terbesit nama Mahameru. Mahameru merupakan sebutan Gunung Semeru sebagai puncak tertinggi di Pulau Jawa, 3676 meter dpl. Konon ketika berhasil mencapai puncaknya, ada ribuan perasaan yang tak terelakkan, dan tak sedikit ora ng-orang yang mengalami perubahan signifikan dalam hidupnya. Namun mengingat track-nya yang luar biasa sulit bagi pemula, ambisi menaklukkan Mahameru harus sedikit diredam, sebagai perkenalan Gunung Arjuna dengan ketinggian 3339 mdpl adalah option yang pas.

Persiapan Pendakian

Karena yang dihadapi adalah alam bebas, tidak serta merta bablas dan aji-aji pengawuran berangkat begitu saja. Check list persiapan climbing mutlak diperlukan. Selain menentukan tujuan dan finish pendakian, kondisi fisik dan lingkungan juga harus diperhatikan. Jenis kelamin pendaki sebenarnya bukan syarat, namun ketahanan fisik dan mentalnya yang harus dipertimbangkan. Jika perempuan namun punya fisik dan mental baja, why not?

Selain itu adalah cuaca. Sangat tidak dianjurkan untuk melakukan pendakian di musim penghujan. Guyuran hujan akan membuat track licin, rawan longsor, belum lagi jika terjadi hujan angin, tentunya akan sangat berbahaya. Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah penguasaan medan dan jalur. Minimal ada salah satu diantara rombongan yang hafal rute pendakian.

Pemilihan lokasi dan rute pendakian, kondisi cuaca, jumlah pendaki, jangka waktu, akan mempengaruhi perbekalan dan peralatan yang musti dipersiapkan. Namun beberapa peralatan yang sangat penting diantaranya; tas ransel khusus pendaki (carrier), sepatu trekking, jaket, jas hujan, matras, sleeping bag (kantong tidur), baju ganti, senter dan alat penerangan, korek api, tenda, kantong plastik, kompor dan peralatan masak mini, alat komunikasi (seperti HP), tempat air, dan peralatan survival dan obat-obatan.

Rute yang luar biasa

Ada beberapa alternatif jalur pendakian Puncak Arjuno, diantaranya adalah jalur Utara, dimulai dari Pos Tretes, melalui Gunung Welirang (3156 mdpl); jalur Timur, dimulai dari Pos Pendakian Wonosari – Lawang; jalur Barat, dari Pos Kebon Sari – Batu; dan jalur Selatan (Karangploso).

Salah satu rekan yang dipercaya jadi pemimpin rombongan memutuskan memilih jalur Timur, dengan alasan dekat dengan rumahnya yang dijadikan tempat berkumpulnya rombongan, maka kami pun manut, walaupun setelahnya kami tahu bahwa jalur tersebut luar biasa sulit. Surprise!

Senja di perkebunan teh Wonosari

Dari rumah rekan kami, harus ngojek terlebih dulu menuju Desa Tawangsari untuk memulai pendakian. Mendung gelap, dan hujan seakan tak menghendaki perjalanan ini, sempat menjatuhkan mental kami. Namun tekad dan keyakinan berhasil meluluhlantakkan semua keraguan. Tetap berangkat, siap menerima apapun resikonya. Tukang ojek memberhentikan kami tepat di bawah sebuah gapura yang merupakan titik start pendakian. Sejenak melepas pikiran-pikiran negatif sembari mengumpulkan tenaga, dan menunggu hujan sedikit reda.

“Berhitung…..mulai!”

“Satu, dua, tiga,………….enam! Enam orang siap komandan!” kelakar teman-teman mencairkan suasana.

“Yup, let’s go!”

Sayup-sayup suara adzan maghrib mengiringi awal perjalanan sembari lirih berdoa untuk keselamatan rombongan. Mentari bersungut-sungut dibalik mendung seraya pancarkan sinar senja kelabunya memantul di hijau dedaunan perkebunan teh berikan warna gelap kontras nan magic. Suara serangga bersahut-sahutan, hening tapi ramai. Sesekali suara desisan, sambil bergidik membedakan suara angin dan ular, membuat suasana semakin mistik. Serasa ada di labirin, taman sesat, melihat sekeliling dengan gradasi warna yang senada, tanpa patokan arah utara-selatan, alur meliuk-liuk, ditambah kontur naik-turun yang membingungkan.

Mungkin tak terasa jika melewatinya di siang hari, terpalingkan oleh pemandangan hijau yang indah menyejukkan. Sebagai gantinya kami bersenda gurau, bercerita ngalor ngidul, tentang kehidupan sehari-hari, pengalaman climbing, sampai dengan curhatan hati dan kehidupan pribadi tak kalah seru menjadi bahan pembicaraan sepanjang perjalanan.

Mereka juga sempat menceritakan sejarah pegunungan di jawa timur. Konon, menurut teosofi masyarakat sekitar, gunung Arjuno adalah tempat di mana sayap dari salah satu anak mata panah kesatria Arjuna ( tokoh pewayangan ) tersebut jatuh. Sedangkan gunung welirang, yang termasuk satu punggungan dengan Gunung Arjuna, juga mempunyai cerita unik, yaitu pada bentuk puncaknya yang aneh, seperti terpotong. Menurut cerita, Semar telah memotong puncaknya, dan potongannya sekarang menjadi bukit di Kota Lawang, Bukit Wedon, dalam Bahasa Jawa berarti potongan.

“Sedikit lagi, ayo! 5 menit lagi sampai di Pos 1!” teriakan sang Ketua menyemangati kami yang mulai lunglai.

Lebih mengerikan

Satu jam kemudian akhirnya kami berada di ujung perkebunan. Singgah sejenak di Pos 1. Persiapan untuk track yang lebih sulit. 15 menit cukup untuk mengumpulkan tenaga kembali.

Meninggalkan pos 1 dan perkebunan teh, memasuki ladang jagung. Hari semakin gelap, masing-masing mengeluarkan senter yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Tiga buah senter agaknya cukup untuk penerangan, satu untuk pemimpin di depan, satu di tengah, sisanya untuk anggota paling belakang. Hujan nampaknya sudah berhenti, namun bukan berarti mendapatkan udara yang hangat malam hari di pegunungan seperti ini. Alam terbuka memperkenankan angin bergerak bebas, hawa dinginnya menusuk masuk ke pori-pori hingga tulang. Satu-satunya yang bisa menghangatkan adalah kebersamaan.

Suasana di kebun teh yang mengerikan di senja hari rupanya masih belum ada apa-apanya dibanding dengan rute selanjutnya. Sesekali melirik kanan-kiri, sebatas mata memandang hanya tanaman jagung yang menjulang tinggi, karena memang track yang dilewati seperti jalan tikus dibuat lebih rendah. Bila dilihat dari atas mungkin persis hama tikus di ladang jagung.

Gelap, seakan tak ada yang lebih menarik untuk dilihat ketimbang jalan yang semakin menantang, tak rata, bergelombang, batuan padas dan tanah yang ekstra licin karena guyuran hujan. Belum lagi banyaknya lubang ranjau alam, lengah sedikit akan tergelincir. Jangankan pemula, pemimpin rombongan yang mengaku penakluk arjuno pun beberapa kali berseluncur tengkurap. Dengan bangga (sebenarnya malu) menyebutnya, “Free style! Yeeaahh!”

Tak terasa ternyata telah melewati ladang jagung, hutan lamtoro dan pinus. Berganti suasana alas dengan alang-alang di kanan-kiri, terkadang sedikit belaian dari daunnya yang melambai-lamban di sisi kanan-kiri, membuat geli campur merinding.

Malam yang panjang

Memakan waktu satu setengah jam dari Pos 1 menuju ke pos 2 ini, Pos Lincing. Rencana untuk bermalam di Mahapena harus diurungkan lantaran kondisi fisik yang tak memungkinkan untuk dipaksa.

Mahapena bukanlah puncak Gunung Arjuna, melainkan masih bisulnya, begitu menurut rekan kami. Sedangkan puncaknya harus ditempuh sekitar 6-7 jam dari Pos Lincing. Itu pun kalau lancar. Di sinilah ujian itu dimulai, tidak hanya fisik, mental, tekad juga semangat. Maka bukan suatu kebetulan jika kemegahan dan kegagahan gunung dijadikan simbol tekad kuat, hati teguh dan kokoh, pengharapan dan semangat nan tinggi menjulang.

Dingin tanpa ampun menyergap seketika setelah berhenti berjalan. Memang di hawa seperti ini dibutuhkan untuk terus bergerak, agar tubuh menghasilkan panas dari proses metabolisme. Seraya mendirikan tenda dan membantu membuat perapian, kami tak membiarkan bibir mengatup dengan derak gigi yang konyol untuk mengeluh di ketiak gunung. Terus mengobral kata, bercerita, bernyanyi dengan nada lembut angin dan senandung hati.

Next….Mahapena

Keluar dari Pos Lincing, kita akan menemukan percabangan jalan, ke kiri untuk jalur protocol, jalan yang di lewati landai dan butuh waktu tempuh yang lebih lama. Jalur kedua, ke kanan, dinamakan “jalur lincing” jarak tempuhnya memang singkat tapi jalannya menanjak dan zig-zag, dengan tujuan Pos Mahapena (Pos 3). Mahapena dulunya adalah tempat yang nyaman dengan pemandangan yang sangat indah, sebelum kejadian kebakaran hutan yang terjadi sekitar tahun 2006, dahulu ada 1 gubug peristirahatan di sana tapi sekarang hanya ada sisa tanah lapang untuk mendirikan tenda.

Untuk menuju Mahapena tetap harus melalui Padang Sabana dan empat bukit. Menurut cerita para pendaki-pendaki terdahulu, jalur yang melalui empat bukit tersebut sudah memakan 17 korban yang meninggal dunia karena tersapu angin badai diantara puncak bukit tersebut. Indah, tapi berbahaya. Maka harus ekstra hati-hati.

Hutan misterius

Akan terasa semakin mencekam ketika memasuki kawasan alas Lali Jiwo, hutan dengan tanaman heterogen yang terkenal keangkerannya. Dalam bahasa Indonesia berarti lali = lupa dan jiwo = jiwa, yang konon banyak orang yang tiba-tiba tersesat dan sampai hilang, ada juga yang merasa sangat lama sekali saat melewati jalan ini, jika perjalanan normal kawasan hutan ini bisa di tempuh kurang lebih 30 menit. Suasana yang nyaman, dengan pohon pohon tua yang lebat, dan sudah berlumut pada pangkal batang batangnya, teduh,  hampir tak tersentuh matahari, suasana yang hening dan tenang membuat sedikit ingin berlama-lama di sana.

Hutan lali jiwo akan berakhir saat kita sudah berjumpa dengan cemara-cemara yang banyak, daerah yang bernama Cemoro Sewu. Menurut pengalaman para pendaki, sangat dianjurkan untuk tidak berhalusinasi, berpikir negatif, ataupun mengatakan sesuatu yang tidak diinginkan. Karena sudah banyak pendaki yang menemukan kenyataan akan perkataan yang diucapkan ataupun hal yang dipikirkan. Seperti pengalaman salah satu rekan kami, saat melalui hutan itu pada pendakian beberapa waktu lalu, ia merasa barang bawaan di dalam tasnya semakin berat, dan terus menggerutu, “Kok lama banget sich gak nyampek puncak?!” Walhasil ia sampai di puncak 6 jam lebih lama, dan sebuah batu besar seberat 20 kg-an secara ajaib ada di tas ranselnya.

Puncak Ogal-agil

Normalnya, sekitar 2 jam setelah Cemoro Sewu akan sampai di pertemuan jalur yang menyatu dengan jalur purwosari. Puncak gunung Arjuna sudah berada di depan mata. Selanjutnya, melintasi padang rumput yang sangat terjal yang banyak ditumbuhi bunga Edelweis. Puncak Gunung Arjuna yang juga disebut Puncak Ogal-agil ini dapat segera dinikmati dengan menempuh perjalanan 30 menit lagi dari Purwosari.

Menunggu pagi: Mimpi indah di malam yang panjang.

Teriakan seorang sahabat dari luar tenda buyarkan mimpi indah di malam panjang. Mimpi perjalanan melelahkan pendakian Puncak Ogal-agil, melalui padang sabana, Mahapena, Hutan Lali Jiwo, Cemoro Sewu. Pikiran yang menghangat kembali sugesti tubuh dengan hawa dingin, semakin menggigil mengetahui bahwa kenyataannya kami masih berada di Pos Lincing. Gejala hipotermia tak terelakkan.

Hipotermia menurut kamus kedokteran adalah gangguan medis yang terjadi di dalam tubuh dimana terjadi penurunan temperatur tubuh secara tidak wajar disebabkan tubuh tidak mampu lagi memproduksi panas untuk mengimbangi dan menggantikan panas tubuh yang hilang dengan cepat. Untuk mencegah hal ini terjadi, sebaiknya hindari kontak langsung permukaan kulit dengan terpaan angin dingin. Cara termudah adalah menggunakan pakaian berlapis. Penggunaan syal untuk leher, penutup kepala, sarung tangan, dan kaos kaki dari bahan wool juga sangat membantu untuk menangani dan mencegah hipotermia. Karena cokelat adalah salah satu makanan yang cepat dibakar menjadi kalori, bisa dijadikan pilihan bekal yang cocok di daerah pegunungan.

Survive…..

Pagi menyingsing di sudut timur, berhadapan tepat dengan tenda ketika membuka tutup terpalnya. Hangat…hangat…hangat… menggatikan posisi beku sendu bebal. Secangkir kecil kopi panas mengisi kembali stok semangat pagi ini. Serasa ditimpuk kotoran dari belakang ketika mendengar kelakar salah satu teman dengan sangat tidak senonohnya mengatakan hasratnya ingin mengeluarkan ampas keras (buang hajat). Yang membuat kami memprotes panjang adalah mencari sumber air. Persediaan air mineral sudah menipis, tak mungkin dikuras habis hanya untuk cebok.

“Sumber air su dekat. Usah kau cemas, kawan,” ujar pemimpin rombongan menurunkan emosi. Menambahkan pula bahwa akan kita jumpai alam bebas yang tak kalah seru dengan puncak dalam perjalanan pencarian air.

Negeri di balik awan

Menyusuri jalan setapak di sebelah pondok barak Pos 2, melewati ilalang-ilalang. Harum dedaunan dan tanah yang harmonis pacu semangat dan kebebasan. Bunga terompet ungu, merah muda, semburat warna melankolisnya buat nyaman.

Sedikit memanjat ketika sampai di ujung padang ilalang, bebatuan besar nan terjal tak lagi jadi pengahalang untuk segera capai atasnya untuk melihat lagi kebawah. Subhanallah! Keagungan tiada tara, sungguh kuasa-Nya. Berdecak kagum melihat pemandangan di bawah sana. Di atas ketinggian yang belum seberapa ini kita dapat melihat betapa kecilnya manusia.

Pagi yang cerah, biru langit bertabrakan dengan hijau-kuning dedaunan, terbaur dengan sedikit kelabu kabut, tebar rasa damai. Rentetan perbukitan hijau dan biru dari kejauhan menambah serasi gradasi warna alam.

Untuk mendapatkan sumber air harus melewati bebatuan ini dan turun lagi ke bawah. Ceria padang berganti tenang suram pepohonan hutan kecil. Gemericik airnya mulai terdengar. Jalan setapak naik turun sedikit licin, meliuk-liuk, senada dengan gejolak hati pemuda, berirama riang.

Awan kelabu, entah kabut – entah mendung, berarak ke arah kami ketika hendak kembali ke tenda. Menutup sebagian pemandangan di bawah, serasa berada di negeri di balik awan.

Sadar bahwa hujan akan turun lagi, rencana ke puncak terpaksa harus diurungkan. Cuaca rupanya tidak mendukung, sangat tidak kondusif untuk climbing, hiking, camping, travelling, di musim penghujan. Namun itu semua tidak akan menggilas musim semi di hati dan pikiran kami. Para pencinta cipta-Nya.

Simbol tinggi – gagah – megah gunung semoga tak kan luntur di hati kita para pemuda, menggaung semangat kepemudaan, semangat berjuang, semangat berkarya dalam sebuah cipta, rasa, karsa manusia. Masterpiece!

 

“…Klimaks bawah sadar temukan arti ke-aku-an ketika terjungkal…” (Muhammad Habibi Hisbullah). (al).

One thought on “Kemegahan Negeri di Balik Awan

Leave a comment