MALANG, RUANG TERBUKA HIJAU MENYEMPIT, MALABAR JANGAN DIKEBIRI

“…paling lambat tgl 27Agustus 2015. Karya dikurasi dan akan dibukukan. Terima kasih.

#SaveHutanKotaMalabar

Begitulah bunyi ending message Whatsapp dari seorang kawan aktivis Malang. Cukup menarik, sebuah ajakan membuat buku antologi puisi dalam rangka aksi penolakan alih fungsi hutan kota. Ia tahu betul saya sangat mencintai dunia sastra. Tapi saya tidak terlalu antusias kali ini. Pasalnya, ini bukan kali pertama  polemik seputar Ruang Terbuka Hijau (RTH) Malang Kota. Sebelumnya, Pemkot Malang menggagas

kerjasama dengan Bank BRI dalam proyek revitalisasi Alun-alun Kota, yang mana dalam perjanjiannya, akan disertakan pembangunan ATM Drive Thru. Lantaran banyak pihak yang mengecam, termasuk Walhi  dan Malang Corruption Watch (MCW), perjanjian pun dibatalkan. Kasus lain seperti Taman Kunir yang menjadi Kantor Kelurahan, Akademi Penyuluhan Pertanian (APP) yang menjadi perumahan elit, RTH  yang menjadi mall diantaranya Malang Town Square (MATOS), Mall Olympic Garden (MOG), Mall Araya, Mall Sarinah, Mall Malang Plasa. Kali ini, lagi lagi Pemkot mengulangi polemic yang serupa. Ajakan aksi, gembar gembor di media, demo turun ke jalan pun terkesan sekadar alat pemanas, tanpa ada solusi yang berkelanjutan.

Selasa malam, 8/9, saya menghadiri sebuah diskusi rutin di salah satu kampus Malang. Denny dan Aji selaku aktivis peduli Hutan Malabar hadir dalam forum tersebut. Denny memaparkan alasan-alasan aksi penolakan yang digagasnya. Point utamanya adalah sisi lingkungan. Ia mengatakan bahwa dalam Undang Undang No. 26 tahun 2007 telah jelas disebutkan bahwa syarat minimal RTH yang harus dipenuhi pemerintah kota adalah 30 % dari luas wilayah keseluruhan.

Sebagai warga pendatang, saya penasaran dengan hutan Malabar yang dimaksud. Waktu senggang saya manfaatkan untuk berkeliling Malang Kota untuk menengok beberapa kawasan RTH, termasuk Malabar. Ialah satu-satunya hutan kota di Malang yang tersisa. Hanya 2,3% dari 30% syarat minimal RTH. Berangkat dari tujuan pemerintah meningkatkan fungsi resapan, menambah nilai estetik, dan mengurangi kemungkinan dijadikannya kawasan ini sebagai “tempat mesum.” Hutan seluas 16 ribu meter persegi ini akan direvitalisasi dengan ditambahkan fasilitas publik seperti danau buatan, taman bermain anak, rumah pohon. Meskipun Wali Kota Malang, Abah Anton, memastikan tak ada alih fungsi hutan menjadi taman, dalam artian tidak ada penebangan pohon, bukan berarti revitalisasi ini tak menimbulkan dampak lingkungan. Kawan-kawan aktivis lingkungan mengkhawatirkan, revitalisasi akan mengganggu ekosistem hutan yang menjadi habitat burung, tupai, dan satwa ini. Selain itu, secara logis, pembangunan fasilitas-fasilitas dalam kawasan hutan justru akan mengurangi fungsi resapan air. Pembuatan rumah pohon juga tidak mengikis kemungkinan adanya pelanggaran teknis seperti memaku pohon yang jelas mengganggu pertumbuhan tanaman. Belum lagi kemungkinan kerusakan spesies dan tercemarnya sampah  plastik apabila pengelolaannya tidak betul-betul diindahkan. Maka perlu dikaji ulang tentang wacana revitalisasi agar tidak bergeser orientasinya ke arah renovasi.

Menariknya lagi, dana pembangunan yang diperkirakan sebesar Rp 2,5 miliar ini berasal dari kucuran donasi dari PT. Amerta Indah Otsuka sebagai bentuk Corporate Social Responsibility (CSR). Bukan kali pertama ini pembangunan kota Malang yang memanfaatkan dana CSR. Tahun lalu, 14/06/2014, bersebelahan dengan Hutan Malabar, terdapat taman kota dengan nasib sama. Pemkot meresmikan Merbabu Family Park bekerja sama dengan PT. Beiersdorf Indonesia menggunakan dana CSR-nya. Perusahaan produsen NIVEA dan Hansaplast ini pada http://googleweblight.com mengatakan bahwa pihaknya membangun taman tersebut dan hanya akan mengawal pemkot selaku penyedia lahan hingga tiga bulan semenjak taman itu diresmikan. Satu tahun berlalu, Taman Merbabu kini lebih familiar disebut sebagai Taman Nivea. Tak hanya itu, awal April lalu pemkot kembali meresmikan Taman Kunang-Kunang di jalan Jakarta berkerjasama dengan PT. Bentoel Group.

Lebih dari sekedar revitalisasi hutan ataupun renovasi taman, hendaknya menjadi catatan bagi pemerintah agar tidak terkesan menghimpun dana dan pembangunan infrastruktur semata. Namun juga memperhatikan keberlanjutan dan jangka panjang tata kota Malang baik manfaatnya bagi social maupun lingkungan. Selain itu, pemanfaatan dana CSR sebagai pembangunan kota akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan bersama apabila betul-betul digodog dengan landasan hukum yang tegas dan berimbang.

Maka perlukah adanya Perda CSR?

3 thoughts on “MALANG, RUANG TERBUKA HIJAU MENYEMPIT, MALABAR JANGAN DIKEBIRI

  1. Saya menanggapi dari sisi perusahaan saja untuk masalah CSR. Sebenarnya perda CSR cukup membantu dalam pembiayaan tata kota. Perusahaan besar wajib menyisihkan sebagian keuntungan nya untuk berkontribusi dalam pembangunan tata kota, termasuk dalam konteks RTH yang mana kontrak dan pengelolaan tetap ada pada pemerintah kota. Yang perlu diketahui adalah bagaimana sebenarnya kontrak antara perusahaan dengan pemerintah kota, dan seberapa besar pemerintah kota (Malang) dalam mengelola dan merawat RTH yang sudah dibangun. Jadi tidak sepenuhnya perusahaan bisa disalahkan dalam hal ini, justru pemerintah yang harus ambil kendali penuh.

    Dan, untuk perda CSR di suatu kota atau provinsi, janganlah sampai dihapus. Ini bisa menyebabkan perusahaan menjadi sewenang wenang, mentang mentang bayar pajak, sudah urusan kelar. Mereka akan melepas Tanggung Jawab Sosial Perusahaan terhadap masyarakat sekitar. “Yang Penting aku udah bayar pajak, ya itu pakai uang pajaknya”, seperti itu kira kira.

    btw, link http://googleweblight.com/ diganti saja dengan http://google.com

Leave a comment